Tantangan bulan ini sangat istimewa, yaitu tentang ‘Makanan Khas Kota Mamah’. Tema ini membuat membuat saya mencari- cari makanan khas daerah yang benar-benar relate dengan kehidupan saya. Karena kalau bahas tentang sesuatu dari daerah asal saya, saya pasti bingung, karena pertama-tama saya akan bingung mendefinisikan asal daerah saya tu dimana. Setelah merenung, akhirnya terbersitlah makanan ini di benak saya.
Hal lain yang membuat Tantangan Ngeblog Mamah Gajah Ngeblog periode Mei 2022 ini spesial adalah karena saya berhasil menemukan penjual makanan otentik yang selama ini kami cari-cari. Sebelumnya kami sempat kehilangan karena tempat jualan lamanya sudah tidak ada lagi. Dan akhirnya ketemu di aplikasi ojek online.
Sebelum menulis, saya ingin merasakan lagi agar deskripsi yang saya buat lebih otentik. Saya sampai menungu-nunggu tempat jualannya buka dan menayakan via wa (cari di instagram) kepada pemiliknya, kapan akan jualan lagi. Maklum masih suasana libur lebaran. Dan akhirnya lamang tapai paling otentik di bandung, sampai di rumah kami. Saat makanan ini sampai, semua orang excited ingin mencoba, dan ternyata bukan saya saja yang rindu yang lain juga rindu merasakan si Lamang Tapai.
Lamang Tapai Khas Minang
Sesuai namanya, Lamang Tapai terdiri dari Lamang dan Tapai. Lamang adalah makanan yang terbuat dari ketan dan santan dan dibakar di dalam buluh bambu, sedangkan tapai yang dimaksud adalah makanan fermentasi yang dibuat dari pulut (ketan) hitam. Sebenarnya lamang itu bisa dimakan dengan berbagai macam lauk, tapi di rumah saya Lamang dan Tapi bagai 2 sejoli, kalau ada lamang pasti ada tapai.
Wah, bukannya banyak ya dimana-mana? Tapi bagi keluarga kami, biasanya yang otentik memang dibuat oleh urang awak. Karena saya pernah beli di dekat rumah, ternyata beda. Lamang tapai yang kami sukai dan kami anggap otentik seperti di daerah aslinya, teksturnya tidak terlalu padat, tapi juga tidak ambyar. Buliran ketan masih utuh, tidak bersatu seperti lupis atau ulen, tapi saling melekat satu sama lain. Rasanya gurih, tapi tidak asin,teksturnya lembut di mulut tapi ga benyek. Hahah nampak rese ya saya mendefinisikanya, tapi semoga kebayang.

Bagaimana dengan Tapainya? kan di Bandung juga ada? Ternyata rasanya beda saudara-saudara, peuyeum ketan yang saya temui di bandung itu rasanya manisss sekali, kemudian tekstur ketannya ‘pecah’ dan getas ketika di gigit. Tapai minang ini rasanya tidak terlalu manis cenderung asam. Memang terkadang tapai tersebut perlu ditambahkan air hangat dan gula sesuai saran dari penjualnya, dan ibu saya suka melakukan hal itu. Teksturnya butiran tapai minang ini lebih tegas (mohon maaf, saya bingung cari kata yang sesuai) dan agak kenyal. Sangat berbeda pula dengan tape ketan kuningan berwarna hijau dan dibungkus daun jati yang teksturnya lembut sekali dilumat pakai lidah dan langit-langit mulut juga ancur. Saya belum cari tahu mengenai proses pembuatan berbagai macam tapai ini, ntah apa yang berbeda sehingga menghasilkan rasa dan tekstur yang berbeda. tapi tapai minang ini buat saya selalu ngangenin ya karena perlu effort buat ngedapetinnya, rada jauh tempat belinya dari rumah.

Relationship dengan si Lamang Tapai
Kenapa sih tiba-tiba kepikiran si lamang tapai? Karena sepertinya dia punya hubungan istimewa dengan keluarga kami. Lamang tapai ini selalu ada saat lebaran, hanya beberapa tahun terakhir ini kami belum menemukan sang penjual lamang tapai yang otentik. Sejak kecil di Sumatera Barat dan Riau bahkan sampai kami menetap di Bandung, lamang tapai ini menjadi sajian yang selalu ada ketika orang tua ‘open house’ saat lebaran. Memang lamang tapai ini kesukaan ayah saya, mungkin karena mengingatkannya dengan daerah asalnya di ranah minang sana. Kemudian jadinya ibu selalu usaha menyediakannya di hari-hari istimewa, termasuk saat lebaran.
Lamang tapai juga menjadi sajian saat pernikahan saya, request khusus dari ibu saya yang menginginkan adanya stand lamang tapai. Jadi beliau request ke catering untuk disediakan satu stand kosong khusus lamang tapai. Lamang tapainya sendiri kami datangkan dari penjual langganan kami, yang sempat hilang kontak tersebut. Segitunya memang, nikahan saya adat jawa lengkap dengan gebyok dan gamelan, tapi ada lamang tapai hahaha. Kata Ibu, biar ada sedikit unsur daerah Ayah di acara pernikahan saya. Trus yang bolak balik ke stand itu siapa? Sensei – sensei dari Jepang, yang kebetulan waktu itu ada acara di Indonesia, wakakak emang unik deh. Mereka bilang bahwa mereka suka sekali makanan itu.
Mitos Lamang
Terkait Lamang, ada satu mitos yang setidaknya disampaikan langsung oleh dua orang dalam circle saya. Ntah kenapa perkataannya terngiang-ngiang terus. Mitos itu disampaikan oleh Bu Maemunah, guru saya waktu kelas 4 SD di Pekanbaru, dan oleh ayah saya sendiri. Ibu guru bahkan mencoba membuktikannya sendiri waktu kecil saat ia bermain masak-masakan dengan teman-temannya dan membuat miniatur lamang tapai.
Mitosnya adalah, apabila adonan beras ketan dan santan sudah diisikan ke dalam bambu, tidak boleh dilangkahi, kalau dilangkahi maka tidak akan menjadi lamang. Guru saya mencoba membuktikannya dengan sengaja melangkahi si miniatur lamang tapai, dan benar saja yang dilangkahi malah pecah, tidak seperti yang tanpa dilangkahi. Kearifan lokal sepertinya itu, karena memang tidak sopan melangkahi makanan. Tapi ya megingat pakai bambu panjang-panjang kemungkinan untuk dilangkahi ya cukup besar. Misal, abis diisi, trus jadi berat, klo meleset dari pegangan otomatis bisa kena kaki lalu, aduuhh ga sengaja kelangkahin deh (skenario lebai)
Siti Nurbaya dan Tapai
Nah ini juga hal unik, yang tidak lekang dari benak saya. Ada satu scene film seri Siti Nurbaya yang menempel sampai sekarang di kepala saya (tapi entah kenapa saya menganggapnya berhubungan dengan tapai – lupa tau itu tapai dari film atau buku). Si mbak eh Uni Siti Nurbaya pulang dari Jakarta, kayanya kangen makan tapai, lalu tiba-tiba ada tukang jualan tapai dan jajan lah dia. dengan semangat dia makan si tapai tersebut, tp ternyata rasanya pahit. Dia menyuruh (nah ini saya lupa apa hubungannya) uni uni lain yang waktu itu bareng dia untuk mengambil gula (tadi saya udah bilang kan ya, lumrah menambahkan gula di tapai ketan ala minang). Pas uni uni balik ngambil gula, Uni Siti sudah mengelepar. Ternyata diracun oleh orang suruhan suaminya Datuk Maringgih. Tragis sekali. Mungkin saya ingat scene itu karna kesal kok ngeracun pake makanan kesukaan kami sih.
Tapi ya make sense ngeracun pakai tapai ala minang itu, soalnya emang lumrah kadang dapat tapai yg agak pahit. Cuma si scene Mbak eh Uni Siti itu merasuk kalbu saya banget. Jadi saya kalau makan tapai pasti ngerasain dulu sedikit, kalau rasanya agak pahit biasanya ga saya lanjut. Takut racun cyyynn… ish padahal film itu adanya pas saya masih TK atau SD tapi nampaknya traumatis, masih ingat sampai sekarang wkwkw.
Penutup
Jadi itulah cerita saya tentang makanan di kota saya, ya boleh lah ngaku-ngaku, karena saya memang pernah tinggal di Padang dan Bukittingi. Walaupun kalau ditotal-total masih belum selama tinggal di Bandung hehe. Apakah ada mamah disini yang juga suka dengan lamang tapai?

Asli, jadi pengen nyobain lamang tapai gara-gara blog post ini. Ada di Bandung ya, Uni? Spill merchant-nya dong.
LikeLike
Lamang Tapai Ajo Minang
Ada di grab dan gofood
Hihihi
LikeLiked by 1 person
Teh Uni Dinii wah ternyata penggemar lamang tapai juga. Udah lama nggak mengindera kata ini. Kalau kalamai udah pernah coba belum Un? Hihi bisi Uni Dini berniat nulis tentang kalamai juga,,, jadi pas dibaca aku juga sekalian nostalgia
LikeLike
Wahhh galamai itu fav banget, tp super susahhh nyarinya di Bandung, klo pengen bgt ya beli via market place. Tak lupa pesan bareh randang, soalnya rasanya beda juga sama ladu ala bandung hihi
LikeLike
Teh Dini, saya tuh terkagum sekaligus terkaget yang mengenai sensei-sensei dari Jepang yang bolak balik nambah makan lamang tapai di pernikahan Teteh. Ehehehe. Sesuka itu ya mereka dengan makanan fermentasi, bahkan yang baru pertama kali dicoba.
Btw saya baru pernah sekali mencoba lamang tapai ini, Teh. Tahunya pun dari mertua, mertua dulu ngajakin makan di area Senen, kata (alm) Ayah Mertua, ini lamang tapai enak banget, Ril, ehehehe.
Jadi inget beliau kalau mendengar atau membaca tentang lamang tapai. 🙂
LikeLike
menarik ini teh …
mau kapan-kapan icip he3 …
LikeLike
Wah baru kenalan sama Lamang Tapai, selama ini belum pernah coba. Nice info Teh, kayaknya enak. TFS yaa
LikeLike
Aku doyan banget makan lamang, dimakan tanpa topping pun doyan. Sayangnya gerd ku membuatkan tak bisa lagi memakannya 12 tahun terakhir, kadang-kadang bandel juga makan, alhasil gak bisa tidur minimal 2 harian karena sesak….
LikeLike