Tema parenting, tentunya tema yang sulit untuk saya. Pertama karena saya bukan pakar dan waduhhh aplikasinya sehari-hari jauh dari ideal. Kedua karena nulis atau sharing sesuatu itu suka bikin takut diuji sama tulisan sendiri, apalagi nulis di blog itu berarti meninggalkan jejak digital sampai bertahun-tahun kedepan. Tapi demi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, saya coba untuk sharing sesuatu yang sepertinya (sepertinya loh ya!) sudah saya lakukan, walau sedikit.
Background Parenting (dari Ortu) Saya
Konon katanya gaya parenting kita ke anak kita itu sedikit banyak dipengaruhi bagaimana gaya parenting orang tua kita. Oleh karena itu saya merasa perlu menceritakan sedikit tentang bagaimana saya dibesarkan. Tentu tidak semua aspek akan saya bahas disini, sebagian kecil saja.
Orang tua saya sangat memprioritaskan pendidikan untuk anak anaknya, selalu diusahakan dan diada-adakan kalau untuk sekolah. Tapi walau begitu, tetap tidak ada tuntutan untuk harus masuk sekolah a b c, harus minimal dapat ranking sekian, harus ini dan itu, ga ada! Tidak ada pula iming-iming, kalau bisa ranking sekian nanti dikasih a b c, ga pernah!
Ibu dan ayah saya juga tidak pernah marah kalau saya ada nilai jelek di raport, bahkan di STTB SD saya pun ada nilai merahnya. Kalau cerita ‘kayanya harus ngulang tahun depan’ cuma dijawab, ‘ya gapapa, ulang aja, ayah juga dulu sering ngulang’ wkwkw. Sebaliknya kalau saya ada prestasi di sekolah, tidak dirayakan terlalu heboh, biasanya ‘alhamdulillah, bagus, semangat terus ya’.
Ortu selalu mengarahkan bagaimana kami anak anaknya bisa bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi tugas kami sebagai anak (tentu yang saya ceritakan disini konteksnya adalah tentang belajar). Yang selalu ditekankan oleh orangtua saya, bahwa belajar adalah kebutuhan diri sendiri, bukan untuk ayah atau untuk ibu. Alhasil, saya merasa bahwa belajar adalah untuk pengembangan diri sendiri, dan saya tidak pernah merasa terbebani sehingga berpikir ‘harus bagus, untuk ortu’, karena bukan itu yang ortu saya harapkan.
Dimulai dari belajar di sekolah, tapi prinsip belajar tersebut akhirnya diterapkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Entahlah apakah tepat atau tidak, tapi saya menganggap pengalaman saya tersebut adalah bagian dari pengembangan kemampuan lifelong learning. Pengalaman tersebut bikin saya jadi orang yang lebih terbuka, dan senang belajar hal hal baru mengimbangi perubahan perubahan dunia ini yang semakin lama semakin cepat.
Lifelong learning
Apa sih itu lifelong learning, biar ga keliatan terlalu sotoy akhirnya saya googling, dan menemukan definisi ini di suatu artikel (yang nampaknya) ilmiah [1]
“Lifelong learning is the lifewide, voluntary and self-motivated pursuit of knowledge for not only personal but professional reasons as well”

Jadi keywordnya adalah: belajar sepanjang hayat, sukarela, self-motivated, untuk pengembangan diri baik secara personal maupun profesional.
Lalu apa itu lifelong learning skill? dalam makalah tersebut juga ada kutipan seperti berikut
“These are continuity, creativity, and learning how to learn by themselves (Demirel O. 2005)”
Menarik ya: “belajar bagaimana caranya belajar”
Kenapa perlu? karena dunia ini berubah sangat cepat, kita tidak bisa mengandalkan ilmu-ilmu yang didapat saat kita sekolah saja. Bahkan sebagai bagian dari suatu institusi pendidikan, saya akui, banyak hal yang harus dipelajari secara otodidak dari berbagai sumber. Jadi saya merasa kemampuan lifelong learning ini sangat krusial.
Aplikasi pengembangan lifelong learning skill di rumah
Kalau bicara aplikasi, tentu hanya sebagian kecil yang saya terapkan di rumah kepada anak-anak. Maksudnya untuk bekal mereka nanti. Ada beberapa hal yang saya tekankan terkait pengembangan skill tersebut, diantaranya:
- Keteladanan
Ini kesannya kita tidak melakukan apapun ke anak anak ya? Hanya melakukan ke diri sendiri, tapi saya merasa justru bagian ini memiliki peranan paling besar. Kebetulan sekali saya adalah dosen, sehingga secara profesional pun dituntut untuk melengkapi gelar-gelar akademiknya. Jadi mungkin lebih keliatan juga sama anak-anak. Terkadang anak saya bertanya ‘ibu lagi ngapain’ biasanya saya jawab ‘lagi belajar, lagi ngerjain pr, dll’ dan dia pasti nyeletuk ‘ternyata guru (dia sebut saya sebagai guru) masih harus belajar dan ngerjain PR ya?’. Nah disitu besar harapan saya bahwa anak saya paham bahwa belajar itu terus-terusan, tidak terbatas ketika dia menjadi siswa saja, bahkan sudah jadi guru pun tetap harus belajar.
- Belajar bahwa proses belajar terkadang tidak mudah
Ini saya rasa penting, sepanjang hidup saya merasakan bahwa belajar itu tidak selalu menyenangkan, tetapi kita tidak bisa berhenti ditengah jalan hanya karena ‘belajar sudah tidak menyenangkan lagi’, sayang karena mungkin hanya perlu bertahan sedikit lagi, dan kita akan melihat hasilnya. Walau saya tau belajar itu perlu banyak pengorbanan, saya tetap senang belajar, formal atau nonformal, dan kadang memang sampai migren, tapi ya belajar memang begitu. Beberapa teman menyebut saya masokis, tapi kalau ada kesempatan belajar/sekolah lagi sepertinya saya mau mau aja sekolah lagi.
Sebagai mamak mamak kolot, saya memilihkan sekolah konvensional untuk anak saya, dengan harapan dia mengenal bahwa proses belajar itu bisa menyenangkan tapi tetap harus disiplin dan akan ada juga episode dimana dia harus menahan hati dan mengeluarkan effort lebih besar. Alhamdulillahnya anaknya enjoy, dan ga (atau mungkin belum – jangan sampai deh) sampai burn out, selalu semangat ke sekolah, dan berusaha tanggung jawab mengerjakan tugas-tugasnya. Ya, bosan dan jenuh sangat wajar terjadi di anak anak (orang dewasa pun juga), tapi justru poinnya adalah gimana bisa tetap konsisten menjalani proses walau bosan melanda. Kondisi pandemi menjadi suatu tantangan dan sekaligus ajang berlatih bagi kita dan anak anak untuk menempa diri agar tetap semangat, walau kondisi tidak ideal dan membosankan.
- Belajar menerima kegagalan
Yang ini rada susah, apalagi di zaman sosmed sekarang ini. banyak postingan anak anak yang berprestasi dengan piala berderet, hahaha. Rasanya klo anak kita dapet nilai jelek pas ulangan, inginnya merepet wkwkwk. Tapi, berkaca pada pengalaman masa kecil saya, ada baiknya merepetnya ditahaaan dulu buibuuu.
Mumpung masih anak anak, masih bisa berbuat banyak kesalahan, maka waktu yang tepat untuk merasakan bahwa gagal itu tidak apa apa. Cara paling mudah adalah dengan tidak merepet klo anak dapat nilai jelek wkwkwk. Lebih baik diberi semangat agar mau berusaha lebih baik lagi. Kalau kegagalan sudah berulang mungkin bisa ditambahkan dengan mengajak anak melakukan evaluasi dan mencari solusinya, sehingga nanti semakin terbiasa untuk menghadapi kegagalan dan mencari solusi perbaikannya.
Ini bukan berarti mengajarkan untuk selalu gagal ya, ga loh, tapi justru mengajarkan anak menjadi lebih tangguh dan mampu bangkit lagi kalau sedang ada pada situasi yang diluar ekspektasi. Banyak bacaan salah satunya ‘strawberry generation-nya Prof. Rhenald Kasali, yang menyatakan bahwa milenial dan gen z ini adalah generasi kreatif, namun sayang kurang tangguh, takut gagal dan mudah sakit hati. Sayang juga kan kalau sampai kaya gitu? pengennya sih kreatif iya tapi tangguh juga iya. Terkadang dunia ini keras jendral!, Butuh mental baja untuk tetap bertahan.
Penutup
Jadi, mungkin ini saja yang bisa saya bagikan pada kesempatan kali ini, mudah-mudahan masih masuk dalam tema ya, hehe. Mohon maaf kalau saya sotoy, bukan bermaksud menggurui, hanya secuplik pengalaman yang juga saya terapkan di rumah. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat, dan jadi pengingat untuk saya juga dikemudian hari.

Referensi:
[1] Haydar Ates, Kadir Alsal, The Importance of Lifelong Learning has been Increasing, Procedia – Social and Behavioral Sciences, Volume 46, 2012, Pages 4092-4096,ISSN 1877-0428,https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.06.205.
Teh Dini … Sepakat dan bisa sama ya he … Mamah dan Bapa juga punya prinsip seperti ini: ” belajar adalah kebutuhan diri sendiri, bukan untuk ayah atau untuk ibu.” Akupun mengatakan hal yang sama kepada anak-anak. Benar sekali … Gak boleh omdo alias ngomong doang tapi harus menjadikan diri kita sebagai teladan.
salam semangat
LikeLike
Masih perlu belajar juga nih sebagai orang tua, buat nggak fokus sama satu nilai ulangan jelek, berusaha melihat kenapa-nya, dan bahwa nilai ulangan lain baik2 aja. Cuman kadang suka lupa juga… 😅
LikeLike
Saya sependapat dengan premis yang diangkat Mba Dini, “lifelong learning”. Apalagi dalam perihal pengasuhan anak, seolah endless.
“Belajar menerima kegagalan” juga hal penting yang perlu ditanamkan pada anak, apalagi notabene anak jaman sekarang sebutannya generasi strawberry yang lembek dan kurang tough.
Semangat untuk kita semua, para Mamahs
LikeLike
Belajar…belajar..belajar. Kita juga sebagia orang tua perlu tetap belajar, apalagi anak-anak yang masih bertumbuh dan berkemabng. Kalau nggak belajar, terus mau jadi apa? heehehe…
Belajar sepanjang hayat, karena kalau nggak belajar mana ada yang auto bisa segala sesuatu ya. Bahkan berjalan saja kita perlu belajar, apalagi untuk berbagai hal yang semakin menantang di masa depan.
LikeLike
Keren banget ini, konsep lifelong learning skill. Tapi prakteknya syusyaaah, lebih karena akunya sebagai ortu sih yang pemalesan hahaha. Dan kadang-kadang kita sendiri yang jadinya malah memupus skill anak terkait keingintahuan mereka untuk terus belajar, hiks
LikeLike